‘Penari Langit’ dan Impian Kami untuk Dunia

(Ricky Elson, 2016)
Tulisan ini adalah sebuah surat cinta dari Ciheras, yang sengaja Saya tuliskan sebagai balasan panjang untuk tulisan New Hope Pak DahIan Iskan (DI) pagi ini, Senin, 18 April 2016.

Abah Kami yang Tercinta. Maafkan Saya hanya ingin sedikit meluruskan,

Pertama, ‘Penari Langit’ ini bukanlah nama Ilmiah, juga bukan analogi dari Kincir Angin atau Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/Angin.

Seperti yang pernah saya ceritakan kepada Abah, ‘Penari Langit’ adalah cikal bakal sebuah nama produk dari Kincir Angin impian Saya saat memulai RnD di Jepang, 10 tahun yang lalu.

Waktu itu produk Amerika dan Jepang memiliki brand yang bagus, seperti Air-X buatan Southwest, AirDolphin buatan Zephyr, atau KazeNagashi Kujira buatan Nikko. Semuanya diproduksi dengan kapasitas kelas kecil, sekitar 500 watt hingga 1000 watt peak.  Mereka merajai dunia untuk kelas ini, baik dari sisi teknologi maupun pemasarannya. Sedangkan Saya memiliki impian, suatu hari nanti dapat melahirkan Kincir Angin kecil, dikelas yang sama tapi jauh lebih baik dari 3 produsen ini, bahkan Saya bermimpi menjadikannya yang terbaik di dunia.

Dalam perjalanan mewujudkan impian tersebut, Saya berguru kepada Prof. Izumi Ushiyama, Guru besar Kincir Angin-nya Jepang. Hampir 80% textbook tentang Kincir Angin ( 風車工学 Fuusha Kougaku-Wind Turbine Engineering) mulai dari pengenalan hingga advance beliau tulis selama 25 tahun terakhir.

Saat ini beliau sedang menjabat sebagai Rektor di salah satu Universitas Terbaik Jepang, Ashikaga Institute of Technology.

Saya mengenal Kincir Angin justru bermula dari sebuah pesan yang beliau sampaikan kepada Saya,

“Ricky-San, di masa depan nanti, Teknologi Kincir Angin akan semakin handal dan semakin menuju kapasitas super raksasa. Tetapi semua itu hanya untuk kepentingan industri baru untuk pemenuhan ekonomi Negara maju dengan menggunakan label Renewable Energy Industry. Mereka akan berbondong-bondong menguasai dunia, dan tentu Saya harus membantu ini semua. Namun Ricky-San, ketahuilah.  Saat ini Saya sudah berusia 60 tahunan. Sejujurnya ada penyesalan dalam hidup Saya yang tak kesampaian. Kita semua tahu, jumlah penduduk dunia saat ini sudah mencapai kurang lebih 7 milyar manusia. Sebanyak 70% diantaranya hidup di Negara berkembang sedangkan sisanya 30% lainnya bahkan masih belum bisa menikmati kemajuan dunia yang kita sebut sebagai peradaban elektrik ini. Saya bermimpi suatu hari nanti dapat membantu untuk menerangi mereka dengan kincir-kincir yang kecil. Saya tahu, sudah pasti mereka tak akan mampu membeli kincir yang besar itu selain juga karena belum menjadi kebutuhannya, mereka juga hanya membutuhkan penerangan dan listrik hanya untuk menyimpan vaksin”. Ucapnya kepada Saya.

Saya hanya menatapnya dan mendengarkan dengan amat khusyuk setiap kalimat yang terucap dari bibirnya.

Lalu beliau melanjutkan,

“Ricky-San, meski dalam 25 tahun ini Saya berjibaku dalam mengembangkan bilah terbaik untuk mereka, yaitu Low Tip Speed Ratio Type, Inverse Taper Wind Turbine, namun Saya tak bisa mewujudkan generator penghasil listrik terbaik untuk menjadi pasangan bagi turbin ini”.

“Untuk itu Ricky-San, Saya tahu Anda masih muda. Saya percaya Anda bisa mewujudkan impian ini bahkan bisa lebih dari itu. Maka harapan Saya, Anda jangan berhenti dari Nidec Corp. Saya dapat merasakan betapa beratnya Anda bekerja di sana. Tetapi sepanjang yang Saya tahu, hanya di sana Anda akan bisa belajar banyak hal tentang teknologi Permanent Magnet Generator terbaik di dunia. Silahkan datanglah kembali ke sini kapan pun Anda mau, lalu mari Kita wujudkan impian semua manusia ini, yang suatu hari nanti akan Kita sebut sebagai the World Dream”.

Pesan beliau ini selalu terbawa ke dalam alam bawah sadar Saya, sebuah pesan yang Saya dengar saat pertama kali pertemuan kami di bulan Oktober tabun 2006 lalu.

Saya tak dapat berkata apa-apa selain merasakan sudut mata Saya mulai basah. 

Padahal niat awal Saya mendatangi beliau untuk melarikan diri dari penggemblengan dengan disiplin yang sangat keras di 3 bulan pertama Saya di NIDEC Corp, yang saat itu membuat Saya ingin berhenti dan menyerah, lalu melanjutkan hidup dengan memilih untuk mengambil S3 saja ke tempat Prof. Ushiyama ini.

Namun yang terjadi setelah bertemu beliau, Saya kembali ke kantor.

Menundukkan kepala yang pongah tak berisi dan hanya dipenuhi dengan kesombongan ini kepada semua atasan Saya. Dalam hati pelan-pelan Saya mulai membangun langkah kecil untuk impian yang besar. Bahkan Saya langsung dibimbing oleh ahli Electric Machine Nomor 1 di Jepang, Prof. Takashi Kenjo, juga dibimbing secara spirit Jepang oleh dua orang bijak, Prof. Nobufuji Kaji dan Prof. Hitoshi Inoue.

Saya mengakui, jalan yang Saya tempuh adalah jalan terjal yang tak mudah untuk dilewati.  Apalagi Saya adalah lulusan jurusan Teknik Mesin yang pernah membenci segala sesuatu yang berbau kelistrikan.

Di usia Saya yang menginjak 26 tahun pada Juni 2006, Saya dipaksa kembali belajar Listrik dan Elektronika Dasar, Elektromagnetika, Mesin Listrik, Material Listrik dan Magnetik, Power Elektronik, dan hal-hal yang berbau kelistrikan. Semua hal yang pernah Saya benci dengan sepenuh hati selama ini.

Hanya demi sebuah impian yang menggetarkan hati Saya, yang dititipkan melalui Prof. Izumi Ushiyama. Dream for World Humanity.

Setiap hari, sepanjang malam, Saya habiskan hanya untuk belajar membongkar dan menguji performa ratusan Dynamo Tamiya. 

Hingga suatu hari, akhirnya kerja keras tersebut mengantarkan Saya menuju sebuah Teknologi Kunci Pembangkit Listrik Tenaga Angin ini, yaitu High Efficiency dan Cogging-Less Design of Permanent Magnet Motor/Generator.

Yang dimulai penerapannya di Motor Penggerak Power Steering dan Motor Penggerak Sepeda Listrik yang saya desain, yang akhirnya dapat mengalahkan performa mesin buatan Panasonic Bicycle yang sudah lebih dari 17 tahun merajai Jepang.

Di tahun 2009, setelah 3 tahun pertemuan kami sebelumnya, Saya datang menemui Prof. Ushiyama dengan membawa Prototype pertama Generator Permanent Magnet Tanpa Cogging alias ringan berputar di angin pelan sekalipun. Saya tunjukkan kepada beliau, lalu Saya mulai bercerita,

“Prof, hari ini satu langkah menuju perwujudan impian Kita telah Kita jejak. Langkah menuju Kincir Angin skala kecil terbaik di dunia. Teknologi ini menghilangkan lendutan atau Cogging yang biasa dirasakan ketika Kita memutar sumbu Dynamo Tamiya dengan perlahan, yang Kita tahu merupakan musuh besar Kincir Angin. Bayangkan jika pada dinamo sebesar telunjuk saja terdapat lendutan tersebut, bagaimana jika besar?”.

Beliau tertegun, lalu berkata,

Subarashii, begitu mengagumkan!”. Puji Prof. Ushiyama dengan mata berkaca-kaca.

Ia melanjutkan, “Kalau begitu, dengan mantap Saya titipkan mimpi ini kepadamu Ricky-San. Gunakanlah teknologi bilah Kincir Angin dari Saya ini.” Ucap beliau sembari memberikan kepada Saya semua paper hasil riset beliau selama 25 tahun terakhir ini.

Saya pun kembali ke Nidec Corp dengan perasaan yang penuh. Membawa semangat membara untuk mewujudkan Kincir Angin skala kecil terbaik di dunia bersama Tim di kantor. Mereka Adalah Noda Manabu, Hu Yabo, Serizawa, Shiraishi, Mizuike, serta 25 orang lebih Engineer yang ikut mendukung terwujudnya impian tersebut, tentu setelah Saya berhasil mendapatkan izin untuk mengembangkan Kincir Angin oleh Prof. Kaji dan Prof. Inoue. 

Bahkan lebih dari Rp. 100 milyar telah digelontorkan oleh perusahaan sepanjang tahun 2009 ke 2012 untuk mengembangkan Kincir Angin skala 500 watt maksimum ini. 

Adik-adik mahasiswa yang sedang mengembangkan Mobil Listrik di Kampus pun akan paham dan bisa merasakan dengan memutar sumbu motor penggerak listrik yang dibeli itu secara perlahan. Hal inilah yang membuat Kincir Angin susah berputar pada kondisi angin yang pelan. Jika kita menggunakan Generator dengan Permanent Magnet, yang menyebabkan para Engineer memilih desain Axial Flux Permanent Magnet Generator tanpa inti alias berserah pada tembaga dan magnet yang banyak, yang membuat harga generator tersebut menjadi mahal.

Bayangkan? Jika Kita mengembangkan yang seperti dilihat oleh Pak DI di Texas itu. Ketika Prototype Kincir Angin kecil ini kami uji ratusan kali di Wind Tunnel di berbagai Universitas di Jepang. Kami sudah tak ingat lagi betapa dinginnya salju, panasnya musim summer yang kami lalui bersama. Malam-malam yang tak kembali ke rumah. Demi sebuah impian besar itu.

Pada saat itulah, timbul keyakinan dalam diri Saya bahwa ini akan terwujud.

Saya pun mulai mempersiapkan diri untuk pulang ke Indonesia.

Dengan impian akan mengalahkan AirDolphin, AirX, KazeNagashi Kujira. Prototype pertama inilah yang Saya beri nama, Sora no Odori-ko atau The Sky Dancer atau ‘Penari Langit’. Itulah sebabnya nama produk buatan kami itu TSD-500.

Seperti banyak yang terjadi pada umumnya di Indonesia.

Di akhir tahun 2011, angin politik berhembus kencang di internal perusahaan tempat Saya bekerja.

Semua panutan dan guru Saya seperti Prof. Kaji dan Prof. Inoue dijauhkan dari Saya karena dianggap dapat membahayakan bagi kebijakan perusahaan jika masih tetap bersama.

Pada saat yang sama, kami juga sedang merintis Pusat RnD baru yang sekarang telah berdiri dan beroperasi di kota Kawasaki, Jepang.

Melihat situasi yang semakin tak kunjung kondusif, Saya pun bersegera mengepak koper, menyelamatkan bayi ‘Penari Langit’ ini.

Alhamdulillah, pada 27 Desember 2011, Saya dihantarkan ke Ciheras, Tasikmalaya. Sebuah tempat yang jauh dari “jangkauan tangan” politik perusahaan.

Di tempat ini, Saya merawat ‘Penari Langit’ yang sejarahnya mulai dihapus dari perjalanan perusahaan saat ini.

Dengan mengajukan proposal dana pengujian penelitian ke NEDO (Badan Energi Terbarukan Jepang), Prof. Kaji dan Prof. Ushiyama pun berhasil menyelamatkan Saya dan ‘Penari Langit’ ke Indonesia.

Kemudian Saya bertemu dengan lima anak muda yang gagah dan berani. Saya ceritakan impian Saya kepada Mereka. Mereka pun dengan kesadarannya bersedia untuk tinggal di pelosok Desa Ciheras bersama-sama, di mana saat itu kondisinya sedang dalam penghancuran masif melalui penambangan pasir besi.

Dengan tekad dan tujan yang sama itulah Kami beranikan diri mendirikan Lentera Angin Nusantara. Hari-hari pun Kami lalui bersama ‘Penari Langit’ di Ciheras.

Atas dukungan Prof. Kaji dan bebarapa orang sahabat di Jepang yang masih setia dan percaya pada impian Saya, hasil pengujian ‘Penari Langit’ini terus Saya feedback ke Jepang dan penyempurnaan ‘Penari Langit’ ini selesai pada pertengahan tahun 2013 setelah melalui 1.5 tahun perawatan dalam inkubator di Ciheras.

Pada 30 April 2012, Saya pun dipertemukan dengan “Induak Semang” baru, yaitu Pak Dahlan Iskan, yang pada waktu itu memiliki impian untuk mewujudkan Mobil Listrik buatan Anak Negeri.

Di hari pertemuan itu, Saya juga menceritakan impian Saya tentang ‘Penari Langit’. Karena Saya merasa bahwa Pak DI adalah salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam kelahiran ‘Penari Langit’ ini di Indonesia.

Namun di saat yang bersamaan, Saya belum memiliki sesuatu yang bisa Saya lakukan untuk menunjukkan bahwa Saya mampu membantu Pak DI dalam mengembangkan Mobil Listrik Nasional atau yang dikenal dengan nama Molina.

Hingga suatu hari, pada tanggal 25 Mei 2012 Pak DI mengajak Saya ikut serta dalam pertemuan dengan Presiden SBY serta beberapa Menteri dan Rektor dari berbagai Universitas terbaik di Indonesia untuk membahas pengembangan Molina tersebut.

Hasil pertemuan itu akhirnya menjadi titik awal Saya berjanji kepada Pak DI untuk membantunya mewujudkan prototype mesin mobil listrik buatan Indonesia pertama, di mana Molina tersebut akan ditampilkan pada Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) ke-17 yang akan dilaksanakan pada 7-11 Agustus 2012 mendatang di Kota Bandung, Jawa Barat. 

Setelah pertemuan itu, Saya pulang ke Ciheras dan bertemu tim Saya. Kami pun berdiskusi banyak hal sambil menyiapkan diri bahwa Kami mampu untuk mewujudkan implementasi ‘Penari Langit’ ini.

Kemudian pada 20 Juli 2012, Saya kembali datang menemui Pak DI dengan membawa Stator dan Rotor  yang merupakan komponen utama prototype mesin mobil listrik kelas 25kW tersebut yang sudah Saya kerjakan kurang lebih 60%.

Saya sampaikan kepada Pak DI bahwa Saya akan menyelesaikan ini sesuai dengan target waktu namun dengan harapan Pak DI pun bersedia membantu Saya melahirkan ‘Penari Langit’ ini di Sumba.

Singkat cerita, Pak DI segera mengabarkan Bu Tri Mumpuni (Founder IBEKA) untuk menjadi partner Saya dalam mengembangkan Penari Langit

Alhamdulillah-nya, berkat dukungan Pak DI, akhirnya Kami mendapat dukungan dana dari CSR PT. Pertamina dengan nilai yang cukup fantastis pada saat itu.

Setelah akhirnya tercapai kesepakatan, Saya pun kembali bekerja untuk menyelesaikan janji Saya.

Tepat pada Agustus 2012, sesuai janji Saya kepada Pak DI, Saya persembahkan Mesin Mobil Listrik pertama buatan Indonesia , 25 kW Permanent Magnet BLDC Motor, yang dititipkan ke PT. Pindad, yang menjadi cikal bakal lahirnya mesin Mobil Listrik Program Molina-nya ITB dan UI.

Setelah semuanya selesai, Pak DI menepati janjinya untuk membantu Saya mewujudkan implementasi ‘Penari Langit’ di Timur Indonesia , Pulau Sumba, yang saat itu baru masih “netek” 7 Bulan di Ciheras. Meski di awal Pak DI pun sempat meragukannya.

Tak dapat Saya pungkiri ini menjadi sebuah pertaruhan yang besar bagi Saya dan tim, karena jika ini tak berhasil, maka Saya akan berhenti mengembangkan Kincir Angin dan hanya akan fokus pada satu hal, yaitu pengembangan Mobil Listrik sesuai dengan keinginan dan harapan Pak DI.

Banyak yang bertanya, mengapa pilihannya Sumba?

Saat mengetahui sebuah NGO Internasional lebih bersemangat untuk mewujudkan program Sumba Iconic Island, yang bertekad menjadikan Sumba sebagai Pulau yang murni menggunakan energi terbarukan. 

Sekilas terlihat baik. Sekilas terdengar hebat. Namun cobalah kita pikirkan kembali.

Apa yang membuat Mereka ingin mewujudkan sebuah tugas besar itu?

Sementara, Kita sebagai Anak Negeri kemana saja? Kemana Ratusan ribu bahkan jutaan anak muda Kita. Padahal mereka hanya sekumpulan puluhan pemuda. Apa keperluan mereka?

Boleh jadi niat Mereka sangat baik. Tapi Kita tahu sendiri bahwa Kita tidak punya kekuatan mewujudkan target tersebut pada saat itu bahkan hingga saat ini.

Saya sangat khawatir Sumba hanya akan jadi show room-nya produk-produk Renewable energy Mereka. Dan Kita hanya menjadi penonton atas ‘pertunjukan’ itu semua. 

Kenyataannya, siapakah yang akan mengeksekusi program sebesar itu?. Tetap saja orang-orang Kita. 

Apakah Kita hanya kebagian pasang baut dan mengecor teruskah?

Lalu yang mendapatkan nama dari program itu siapa? 

Semuanya kembali kepada mereka.

Saya pun tak menafikkan sebagian manfaat yang didapatkan oleh masyarakat Sumba dengan adanya program itu. Namun apakah sudah sebanding dengan uang yang mereka kumpulkan dari pendonor program tersebut?

Bahkan Saya sangat khawatir sebagian besarnya hanya habis di meja acara seminar sosialisasi dan mengundang para “ahli” itu.

Terus terang Saya tak rela sekaligus tak berdaya menghadapi ini semua.  

Sepanjang yang Saya tahu, 5 tahun lebih program ini berjalan, apa yang sudah berubah?. Hanya menguntungkan bagi oknum-oknum tertentu saja.

Atas dasar tekad itulah, meski banyak yang meragukan, namun Saya dan tim berjanji kepada diri Kami sendiri, apapun yang terjadi akan Kami jalankan dan kerjakan setulus hati. Bekerja bersama masyarakat dengan sebaik-baiknya, menerapkan teknologi yang sangat sederhana bahkan dianggap remeh ini dengan sesungguh-sungguhnya.

Seperti pesan Nagamori yang selalu terngiang di telinga Saya.

SUGU YARU ! Segera Kerjakan !

KANARAZU YARU ! Pastikan kerjakan sesungguh-sungguhnya !

DEKIRU MADE YARU ! Kerjakan hingga Tuntas !

Lalu semesta akan berpihak kepadamu, dan Kami pun percaya itu !

Hingga pada awal September 2014, 100 Kincir Angin kecil yang kami rawat di Ciheras, para Penari Langit’ kecil itu, berhasil terwujud dan menerangi 3 Desa di Sumba Timur, NTT.

Sebulan kemudian, pada 5 Oktober 2014, dua minggu sebelum selesainya masa jabatan Pak DI sebagai Mentri BUMN di era Pak SBY, beliau Saya ajak ngedate berdua ke 3 Desa itu sambil menyaksikan ‘Penari Langit’ beraksi di bawah langit biru nan indah-nya langit Sumba, yang sudah pasti tak sekelabu langit Indonesia di tulisan beliau pagi ini.

Pada tanggal 5 Oktober 2014 inilah, kali pertama kosa kata ‘Penari Langit’ tertanam kokoh dalam benak seorang Dahlan Iskan. 

Betapa tak kuasanya Saya menahan haru melihat Pak DI takjub di bawah bayangan tarian kolosal ‘Penari Langit’ yang ada di Desa Tanarara, Sumba pada saat itu. Namun semua ini masih tak sebanding dengan guncangan sesak dalam dada ketika pertama kali listrik hasil panen ‘Penari Langit’ ini mampu menerangi malam-malam yang gelap di Desa Kalihi, Desa Palindi dan Desa Tanarara di Sumba.

Ini memang hanya segelintir cerita Sang ‘Penari Langit’. Tak ada apa-apanya untuk Negeri ini. Belum seberapa dibandingkan dengan perjuangan setiap insan Bangsa ini yang membangun Indonesia hingga detik ini.

Sedangkan Kami? Tetap berdiri dengan keyakinan Kami bahwa Kami tak akan pernah berhenti di sini.

Di Ciheras, hari ini bukan lagi dengan segala fasilitas, teknologi dan uang ratusan milyar. Meski hanya dengan receh dan nafas tersengal-sengal, anak-anak muda Negeri ini akan datang untuk meneruskan impian ini. Melahirkan ‘Penari Langit’ Generasi ke 2 dengan semua teknologi dari Negeri sendiri.

Abah, ketahuilah. Dalam darah kami sudah mengalir DNA yang tak pernah menyerah. Percayalah, langit kelabu Negerimu itu suatu saat akan kami jadikan biru indah bersama liuk lenggok indahnya ‘Penari-penari Langit’ kecil kami.

Suatu saat nanti. 

Cerita Ciheras dan Penari Langit
Ciheras. (Ricky Elson,2016)

**************** 

Penari Langit di Lokasi Steak Tujuh Ons

Oleh Dahlan Iskan

Mengapa Anda ke Amarillo ini? Jauh-jauh datang dari Indonesia? Itulah pertanyaan yang sulit saya jawab. Kota ini memang kecil sekali. Letaknya pun nun di pedalaman Texas. 

Itulah tujuan saya sebenarnya ke Amarillo. Melihat wind power yang dikerjakan dengan penuh antusias.

Kincir anginnya terbukti juga mengenyangkan. Memuaskan emosi spiritual saya. 

Saya lihat, masih banyak pekerja yang mendirikan tiang-tiang baru. Maka, saya terus memandangi baling-baling besar yang berputar di langit Texas itu.

Kadang muncul kekaguman saya. Kadang muncul wajah tertentu di balik putaran kincir itu: wajah Ricky Elson.

Benar, saya lagi di Texas. Tapi, sebagian perasaan saya seperti sedang berada di Sumba. Atau di Ciheras. Tempat para penari langit ciptaan Ricky menghibur langit Nusantara yang lagi kelabu.

Saya pun kian ngiri kepada Texas ini. Juga kepada perkebunan kincir terbesar lainnya di California. Tapi, terselip juga perasaan bangga: ciptaan Ricky Elson tidak akan kalah sebenarnya.

Saya sudah minta kepada Ricky untuk membuat proyek penari langit seluas 5 mw. Tahun lalu.

”Mau ditaruh di mana?” tanya Ricky.

”Saya belum tahu,” jawab saya. 

Terlalu banyak lokasi di Indonesia yang menunggu kehadiran para penari langit. Khususnya di wilayah timur. Hanya, saya juga belum tahu: apakah akan mendapat izin. Terutama izin penyerapan listriknya.

Saya hanya ingin Ricky segera bersaing di tingkat dunia. Saya yakin, temuan teknologi Ricky yang sudah dipatenkan di Jepang itu punya kelebihan sendiri.

Ricky memang menjawab permintaan saya itu dengan hati-hati. Khas teknolog Jepang. Dia mengatakan masih harus menyusun kekuatan.

Kekuatan ratusan mahasiswa yang kini magang di Ciheras, pantai selatan Tasikmalaya. Kekuatan itu mungkin tidak mudah disusun. Ciheras tidaklah berada di Texas. Yang bisa dapat dukungan dari mana-mana. (*) Dahlan Iskan.

Scroll to Top